– Sebelum kota tempat saya kuliah S2 Data Science di Universitas Roma La Sapienza lockdown karena virus corona, saya sudah tiba di Jakarta, Indonesia. Tak dimungkiri, menyebarnya virus corona yang makin masif di Italia membuat keluarga saya ketakutan dan meminta saya segera pulang.
Tanggal 5 Maret 2020 saya mendarat di Indonesia. Tubuh saya saat itu terasa tak sehat, batuk dan meriang. Saya sudah merasa sakit sejak akhir Februari lalu di Roma. Saya pun menenggak parasetamol untuk membuat tubuh sedikit lebih bugar usai perjalanan jauh, Italia-Indonesia.
Rupanya parasetamol ‘meloloskan’ saya dari pantauan thermal scanner bandara. Lepas dari pemeriksaan di bandara, saya dibekali kartu kuning dan anjuran untuk self quarantine (karantina mandiri) karena negara keberangkatan saya adalah salah satu wilayah corona.
Dua hari setelah itu, batuk makin sering. Saya pun inisiatif lapor ke hotline corona. Saya diwawancara, pernah kontak tidak dengan orang positif corona saat di Italia. Nah kebetulan memang ada, dia satu fakultas tapi adik kelas.
Dari wawancara singkat ini, seorang dokter di puskesmas pun menghubungi saya. Yang mengejutkan, pukul 23.00 WIB ada sebuah ambulans yang menjemput saya untuk dibawa ke RSUD di Jakarta Selatan.
Serangkaian pemeriksaan pun harus dijalani termasuk rontgen dan cek darah.
Tak lama saya pun dipindahkan ke ruang isolasi dan berstatus ODP (orang dalam pengawasan). Status ini saya dapatkan karena baru pulang dari Italia sehingga ada kemungkinan kena corona.
Sebuah ruangan cukup luas dengan 4 bed disiapkan rumah sakit. Tak ada pembatas pada tiap kasur. Petugas medis dengan baju berlapis dan masker hanya masuk untuk memberikan obat, pemantauan, atau memberikan makanan.
Obat yang diberikan antara lain ranitidin atau obat untuk lambung dan obat racikan yang diklaim untuk meredakan rasa pegal atau nyeri di tubuh sekaligus meredakan batuk. Saya pikir pihak rumah sakit memberikan obat karena melihat riwayat kesehatan saya yang memang punya riwayat sakit lambung.
Namun kenyataan berkata lain. Di ruang isolasi, satu orang di dalamnya ternyata berstatus suspect. Kondisinya lebih parah dari saya, dia batuk parah dan diinfus. Saya jadi takut, mengingat tak ada pembatas di antara kami.
Hanya saja kami jaga jarak alias social distancing, dia pun inisiatif pakai masker, saya juga pakai. Kamar mandi kan jadi satu, saya kalau pegang gagang pintu kamar mandi pakai sarung tangan.
Di tengah masa isolasi, saya tidak diperkenankan bertemu siapapun termasuk keluarga. Namun mereka memantau lewat perkembangan kesehatan saya lewat telepon. Mengetahui kondisi saya, keluarga pun mendesak rumah sakit untuk memisahkan pasien suspect ke ruangan berbeda.
Keinginan ini pun dikabulkan di hari terakhir isolasi. Sore hari, saya pindah ke ruangan lain. Sebenarnya tak ada masalah dengan kesehatan saya, kondisi fisik baik, hanya saja lebih ke masalah psikis setelah tahu satu ruangan dengan suspect corona.
Jalani tes swap dua kali
Selama masa isolasi, berbagai pun harus dijalani termasuk tes swap. Tes ini merupakan tes air liur pada mulut bagian dalam dan tenggorokan. Tes swap pertama dilakukan keesokan harinya setelah masuk kamar isolasi, kemudian tes swap kedua dilakukan dua hari setelahnya sekaligus tes darah.
Namun hasilnya belum diketahui. Waktu itu kewenangan pemeriksaan hanya ada pada Litbangkes Jakarta sehingga pasien maupun petugas medis harus menunggu lama.
Hari kelima, kira-kira jam 7 malam hasilnya keluar dan negatif, saya pun diizinkan pulang. Tapi saya harus tanda tangan surat dalam bentuk tulisan tangan yang berisi permintaan untuk self quarantine selama 24 hari
Sayangnya saya tak diberitahu sama sekali tidak diberi tahu tentang ketentuan self quarantine. Buat saya, surat dalam bentuk tulisan tangan saja sudah cukup aneh, terlebih ini merupakan surat yang dikeluarkan pihak rumah sakit. Belum lagi pihak Puskesmas atau rumah sakit yang tidak mengeluarkan surat keterangan negatif corona.
Setibanya di rumah saya langsung menjalankan prosedur self isolation. Terhitung hingga April 2020, saya harus menjalani self quarantine. Kegiatannya kini hanya diisi dengan mengikuti perkuliahan secara daring (online), menjelajah dunia maya sembari memantau kondisi terkini virus corona. Tak ada asupan makanan atau obat-obatan yang harus dikonsumsi, tetapi saya berinisiatif mengonsumsi vitamin C.
Saya pun membatasi interaksi dengan keluarga, menjaga jarak, hingga memisahkan perlengkapan makan.
Rumah sakit memberitahu saya bahwa akan ada orang dinas Kesehatan yang akan menghubungi dan memantau kondisi saya. Namun beberapa hari ditunggu, tak ada dokter yang menghubungi atau bahkan datang ke rumah. Saya putuskan untuk menghubungi rumah sakit. Ternyata saya malah disuruh ke RSUD Pasar Minggu, padahal kan lagi self quarantine. Saya tak mau ambil risiko, lebih baik saya di rumah.
Saya berharap Indonesia belajar dari pengalaman Italia. Saya melihat masyarakat Indonesia cukup sadar akan bahaya virus corona, memakai masker, juga cuci tangan. Berbeda dengan warga Italia yang tenang, sakit pun masih beraktivitas, tidak menutup mulut dan hidung saat bersin maupun batuk.
Pemerintah Italia pun tidak tinggal diam dan terus melancarkan imbauan, tetapi warga terkesan cuek. Banyak orang Italia yang membuat ‘milano non si ferma’ artinya Milan tidak takut. Mereka masih berani aktivitas di luar sampai akhirnya Italia lockdown.
Kalau sudah begini, lanjutnya, tak ada yang bisa diharapkan. Italia setiap hari ada kasus baru. Indonesia layak belajar dari pengalaman ini. Mulai dari diri sendiri harus proaktif melawan virus. Masyarakat pun harus patuh akan himbauan pemerintah.
Saya harap cepat atau lambat pemerintah harus bisa memfasilitasi swap test untuk banyak orang.
*Cerita ini disampaikan oleh Felix (nama disamarkan) seorang mahasiswa di Italia kepada CNNIndonesia.com dan saat ini masih menjalani masa self isolation di rumahnya. Berdasarkan hasil tes kesehatannya dia dinyatakan negatif corona.